Jaring
Nusantara Wilayah Makassar
Sabtu,
26 November 2016, siang menuju petang, pada sebuah kedai kopi bernada Jepang,
berlangsung Obrolan dengan tema Illegal Fishing - Nelayan diambang Kepunahan.
Betulkah nelayan sudah hampir punah? Ini sebuah pernyataan yang bombastis, tapi
boleh jadi nelayan akan punah, siapakah diantara kita yang dapat mengerem
perubahan?Hadir dalam kegiatan itu, para penggiat, mahasiswa dan pengajar ilmu
kelautan dan perikanan, yang dalam hati mereka terdapat niat tulus untuk
mencari tahu segala hal tentang nelayan, kehidupannya, permasalahannya, serta
nasib ikan-ikan yang menjadi incarannya.Pada kesempatan itu, Jaring Nusantara
mengundang pembicara yang beralatar akademisi, satu ahli kelautan (Dr. Syaifuddin
Yusuf)dan satunya lagi adalah seorang antropolgi yang berurusan komunitas
nelayan (Muh. Neil, S.Sos). Keduanya bercerita sesuai dengan perspektif dan
pengalaman mereka masing-masing.
Dr.
Syaifuddin atau biasa disapa Pak Ipul banyak bercerita tentang pengalamannya
dalam dunia konservasi. Pernah suatu ketika, Ipul melakukan penyelaman di
perairan Pulau Kapoposang, yang saat ini menjadi kawasan konservasi. Begitu
kagetnya iya, melihat ratusan ikan dengan berbagai jenis menggelepar-gelepar di
atas karang. Pengaruh bius ikan tersebut hingga radius 20 kilometer. Tak jauh
dari situ, nelayan yang diduga melakukan pembiusan pergi menghilang. Ipul tak
sempat menegurnya. Ia hanya tertegun.
Menurutnya,
kondisi karang di kepulauan Spermonde saat ini tinggal 23%, sangat berbeda jauh
pada tahun 1990-an yang masih 50%. Tidak salah lagi, penyebabnya adalah
pengeboman dan pembiusan ikan. Namun, ia menyadari bahwa pendekatan yang
dilakukan selama ini masih kurang integratif. Masing-masing pihak bergerak
sendiri-sendiri. Misalnya, dalam penegakan hukum. Masih banyak ditemukan kasus
bahwa pelaku pengeboman ikan hanya dipenjara 1 bulan. Hal ini terjadi karena
hakim dan jaksa belum begitu memahami dampak dari pengeboman-pembiusan. Selain
itu, begitu gampangnya para pengusaha mengintervensi proses hukum. Untuk itu,
sebaiknya parapihak saling berkoordinasi untuk melakukan pembenahan secara
bersama isu pengeboman dan pembiusan ikan ini.
Pengalaman
lainnya, ketika Ipul melakukan penyadartahuan kepada komunitas nelayan Bajo di
Takabonerate. Menurutnya, sangat gampang merubah mindset Nelayan Bajo, sangat
berbeda dengan nelayan kepulauan Spermonde. Sebab, orientasi nelayan Bajo dalam
menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri, sedangkan nelayan
lain sudah memiliki orientasi bisnis.
Pernyataan
penting yang dilontarkan Ipul, yaitu bahwa selama ini undang-undang terkait
nelayan, baik itu perlindungan nelayan maupun undang-undang lingkungan hidup,
sangat jarang disosialisasikan kepada masyarakat nelayan secara langsung.
Sehingga, nelayan mengalami diskriminasi dari segi informasi.Muh. Neil
menjelaskan berdasarkan teori dan pengalaman yang diperoleh sejauh hidup
bersama nelayan. Terdapat beberapa pernyataan yang bersifat kontradiktif dengan
pemahaman umum, dan ada yang afirmatif, serta memberi alternatif.Nelayan itu
merupakan tipikal masyarakat pemburu (Hunter).
Karena
itu, nelayan memiliki mobilitas yang tinggi, bergerak sesuai pergerakan-migrasi
sumberdaya ikan. Saat ini, mereka tidak banyak beroperasi di kawasan Selat
Makassar, tapi bergerak di perairan Kalimantan, khususnya di Berau. Sebab, ikan
banyak di sana. Konsekuensinya, mereka merusak di sana. Neil memperkirakan
bahwa 80% ikan di Pelabuhan Ikan - Paotere ditangkap dengan cara dibom.
Pertanyaan kritisnya, jika tiba-tiba nelayan pengebom ikan hilang? Bagaimana
merespon kebutuhan ikan warga Makassar?Sepanjang perjalanan akademis Neil,
memantau bahwa program-program yang bersentuhan dengan nelayan, dominan
berurusan tentang konservasi karang atau terkait dengan aspek teknis, sebagian
kecil mengarah pada pemberdayaan nelayan. Namun, yang tidak tersentuh adalah
aspek pasar. Padahal, pasar sangat berpengaruh dalam menstimulus nelayan
melakukan penangkapan yang bersifat destruktif-merusak. Jika pemerintah
mengawal pasar yang baik, dengan menetapkan standar ikan yang boleh dibeli,
maka nelayan tidak akan merespon dengan penangkapan yang berlebih. Selain itu,
untuk menjamin ekonomi nelayan, pemerintah harus menetapkan harga dasar ikan,
agar bagaimana pun jatuhnya permintaan, nelayan tetap memperoleh
untung.Pendidikan juga disinggung oleh Neil. Menurut pengalaman Neil, nelayan
yang sudah berumur 35 - 40 tahun ke atas, sudah sulit diberi pengertian
mengenai konservasi dan cara menangkap ikan yang baik. Kecuali terjadi debat
keras dengan mereka. Sebaiknya, penekanan edukasi diarahkan pada generasi yang
lebih muda. Masa depan perikanan juga berada di pundak mereka. Kak Neil
bercerita, suatu ketika dia melihat terdapat 4 orang anak nelayan sedang
bermain lempar botol aqua yang telah berisi pasir. Barang siapa yang paling
tinggi luapan airnya, berarti paling bagus. Menurut Neil, itu sebenarnya
praktek pengeboman ikan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa anak-anak nelayan
belajar dari keseharian orang tua mereka. Pelibatan perempuan dalam perbaikan
nasib nelayan, adalah salah satu kunci. Pernyataan Neil ini berdasar dari salah
satu penelitian mahasiswa yang dia dampingi. Menurutnya, perempuan dapat
mendorong kerja keras suami dalam mencari ikan, hanya dengan memanipulasi
keberadaan beras dalam rumah. Jadi, perempuan sekadar memperlihatkan kurangnya
beras dalam rumah, maka laki-laki meresponnya dengan pergi melaut lagi. Jika
beras banyak di rumah, maka sang pria akan bermalas-malasan. Selain itu, perempuan
sebaiknya tidak diarahkan untuk pemberdayaan untuk memperoleh tambahan ekonomi,
cukup memberi penyadaran mengenai tata kelola ekonomi keluarga. Keluarga
nelayan boleh dibilang boros, bayangkan, anak yang baru punya gigi saja nilai
jajannya sampai Rp. 5000/hari. Selain itu, perempuan dapat diajak berfikir
kritis dibanding laki-laki. Sebab, saat ini perempuan lah yang rata-rata
memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dibandingkan laki-laki pada masyarakat
pulau. Laki-laki sudah pergi menangkap ikan sejak SD, sedangkan perempuan
didorong untuk Sekolah tinggi-tinggi. Banyak diantara mereka yang sekolah
perawatan dan sekolah guru.
Neil
menambahkan, bahwa pada dasarnya nelayan juga dapat berfikir konservatif, namun
ketika berhadapan dengan realitas, mereka lebih memilih berfikir ekonomi. Maka,
untuk itu, sangat dibutuhkan mendorong bisnis berkelanjutan untuk menjamin
ekonomi nelayan, selain itu dapat merawat sumberdaya ikan tetap tersedia di
alamAda yang bertanya, kenapa tidak ada nelayan di forum ini? Neil meresponnya,
bahwa memang tidak dibutuhkan nelayan untuk membicarakan mereka. Sebab, dalam
penanganan nelayan, semua pihak berkontribusi, bukan hanya nelayan saja.
Bayangkan, jika para konsumen sadar dan hanya membeli produk perikanan yang
berkelanjutan? Bayangkan jika para pengusaha hanya mengambil ikan yang ramah
lingkungan? Bayangkan jika pemerintah kita ketat dalam regulasi penangkapan
yang ramah lingkungan? Pasti nelayan akan ikut arus. Jadi, masa depan nelayan
dan masa depan ikan-ikan juga berada dipundak kita.Untuk itu, apakah nelayan
diambang kepunahan? Sejarahlah yang dapat menjawab. Jika kita berdiam saja.
Anda pasti tahu jawabannya.
@Jaring_Nusantara
#Mattiro Tasi #LEMSA #YKL_Indonesia #Econatural#Makassar